Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2022/PN Mjy | TRI WAHYUDI Bin SAKIMUN | 1.Kepala Unit PPA Polres Kabupaten Madiun 2.Kepala Kesatuan Reskrim Polres Kabupaten Madiun 3.Kepala Kepolisian Resor Kabupaten Madiun |
Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Senin, 04 Apr. 2022 | ||||||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2022/PN Mjy | ||||||||
Tanggal Surat | Senin, 04 Apr. 2022 | ||||||||
Nomor Surat | 57/DN/IV/2022 | ||||||||
Pemohon |
|
||||||||
Termohon |
|
||||||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||||||
Petitum Permohonan | I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: 1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; 2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini. e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut : 1 Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011 f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut : Mengadili, Menyatakan : 1 Mengabulkan Permohonan untuk sebagian : [dst] [dst] 2. Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan; g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan. II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN 1. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA Bahwa Mendasari Alat Bukti Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. b. Tentang Penetapan Tersangka Menurut UU No. 8 Tahun 1981 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) menyebutkan bahwa “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana” seseorang ditetapkan sebagai tersangka hanya berdasarkan bukti permulaan yang didapat dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Berdasarkan bukti permulaan ini kemudian seseorang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan serta menambah objek praperadilan, yaitu penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi manusia seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu harus dipenuhi untuk menetapkan status tersangka kepada seseorang yang diduga sebagai pelakunya c. Tentang Saksi Pengertian Saksi dalam bahasa Indonesia merupakan kata benda yang berarti “orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP yang di maksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dalam pengertian saksi terdapat beberapa pengertian yang dapat dikemukakan, yaitu : a. Seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indra mereka (misal penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian. Seorang saksi yang melihat suatu kejadian secara langsung dikenal juga sebagai saksi mata. b. Saksi adalah seseorang yang menyampaikan laporan dan atau orang yang dapat memberikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dan atau orang yang memiliki keahlian khusus tentang pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana (rancangan undang-undang perlindungan saksi pasal 1 angka (1). menurut pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) keterangan saksi adalah salah satu alat bukti yang sah. Yang dimaksud dengan keterangan saksi menurut pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Dari bunyi pasal di atas dapat di simpulkan unsur penting keterangan saksi yaitu: a. Keterangan dari orang (saksi); b. Mengenai suatu peristiwa pidana; c. Yang didengar sendiri, lihat sendiri dan dialami sendiri. Syarat-Syarat Menjadi Saksi Untuk keterangan saksi supaya dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu a. Syarat Formil Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan memenuhi syarat formil, yaitu saksi memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah lainnya. Dan Berumur 15 tahun keatas , Sehat akalnya, Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus kecuali undangundang menentukanlain, Tidak dalam hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun sudah bercerai, Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah kecuali undang-undang menentukan lain, Menghadap di persidangan, Mengangkat sumpah sesuai dengan agamanya, Sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa atau dikuatkan dengan bukti lain, Dipanggil masuk ke ruang sidang dan memberikan keterangan secara lisan b. Syarat materiil Bahwa keterangan seseorang atau satu saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (usus testis nulus tetis) karena tidak memenuhi syarat materiil, akan tetapi keterangan seseorang atau satu orang saksi adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan. Menerangkan apa yang saksi lihat, ia alami sendiri, Diketahui sebab-sebab saksi mengetahui peristiwanya bukan merupakan pendapat atau kesimpulan sendiri, Saling bersesuaian satu dengan yang lain, Dan tidak bertentangan dengan akal sehat. Saksi Korban Korban disebut sebagai saksi karena status korban di pengadilan adalah sebagai saksi yang kebetulan mendengar sendiri, melihat sendiri dan yang pasti mengalami sendiri peristiwa tersebut Saksi pelapor (Whistleblower) adalah orang yang melihat, mendengar, mengalami, atau terkait dengan tindak pidana dan melaporkan dugaan tentang terjadinya suatu tindak pidana kepada peyelidik atau penyidik. Saksi de Auditu Saksi de Auditu atau di dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau sering di sebut juga dengan saksi hearsay adalah keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain atau bisa disebut dengan report, gosip, atau rumor. Saksi ini merupakan saksi yang keterangannya bukan ia lihat, ia dengar maupun ia alami sendiri melainkan pengetahuannya tersebut didasarkan dari orang lain. Saksi ini bukanlah alat bukti yang sah. a. Bahwa menurut keterangan Termohon I ada 2 orang saksi yaitu saksi korban Karina Adinda Yossy (korban), Saksi Pelapor Yaitu Ida Cahya Widura hanya mendengar sendiri atau keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain bukan melihat sendiri dan yang pasti mengalami sendiri peristiwa tersebut Saksi ini merupakan saksi yang keterangannya bukan ia lihat, ia dengar maupun ia alami sendiri melainkan pengetahuannya tersebut didasarkan dari orang lain. Saksi ini bukanlah alat bukti yang sah Bahwa ada beberapa ketentuan pokok yang harus dipenuhi oleh seorang saksi sebagai alat bukti yang memiliki ketentuan pembuktian,yaitu : 1. Saksi harus mengucapkan Sumpah atau janji 2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami sendiri bukan pendapat saksi yang di peroleh dari hasil pemikiran yang di reka-reka. 3. Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan 4. Keterangan satu saksi saja tidak cukup, yaitu keterangan sorang saksi saja belum dianggap cukup sebagai alat bukti dalam membuktikan kesalahan terdakwa “Kami selaku Kuasa Hukum menganalisis sesuai fakta hukum tentang keterangan saksi sebagai berikut, bahwa saksi korban yaitu Karina Yossy Adinda dan saksi tidak mendengar sendiri, melihat sendiri dan yang pasti mengalami sendiri peristiwa tersebut, kemudian saksi Rahmah Setia Lestari pun tidak mendengar sendiri, melihat sendiri dan yang pasti mengalami sendiri peristiwa tersebut, sehingga hanya ada 1 (satu) saksi saja dan kami mendasari pada syarat materiil Bahwa keterangan seseorang atau satu saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (usus testis nulus tetis) karena tidak memenuhi syarat materiil. Menerangkan apa yang saksi lihat, ia alami sendiri, Diketahui sebab-sebab saksi mengetahui peristiwanya bukan merupakan pendapat atau kesimpulan sendiri, Saling bersesuaian satu dengan yang lain, Dan tidak bertentangan dengan akal sehat”. Dan tidak ada persesuaian keterangan antara para saksi untuk membuat terang dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon. a. Bahwa Termohon I dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Pencabulan Anak Di Bawah Umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Unit PPA Kabupaten Madiun kepada Pemohon hanya berdasarkan Surat ketetapan tertanggal 8 Maret 2022 No.Sp.Tap/23/III/RES.1.24./2022/Satreskrim yang di ketahui Termohon II Tentang Penetapan Tersangka dengan Pertimbangan: Bahwa berdasarkan hasil penyidikan terhadap saksi dan adanya barang bukti yang disangkakan kepada tersangka telah cukup bukti atau peristiwa tersebut benar benar tindak pidana, dapat kita perhatikan penetapan tersangka tersebut dengan pertimbangan hasil penyidikan terhadap saksi dan adanya barang bukti bukan Alat Bukti bukan terpenuhi nya 2 (dua) alat bukti sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 184 KUHAP sehingga perlu mengeluarkan surat ketetapan Tersangka.
Bahwa Pemohon di duga melakukan tindak pidana Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak oleh Unit PPA Polres Kabupaten Madiun Prinsip-Prinsip Penegakan Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia 1. Prinsip Legalitas Tindakan pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Selain itu, pemerintah hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-undang.Dengan kata lain, wewenang yang diberikan kepada pejabat tata usaha negara harus dilaksanakan atas dasar peraturan perundang-undangan. Dalam hukum pidana, asas legalitas terkait dengan penentuan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi.Jerome Hall menyebutkan bahwa terdapat empat makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu: 1) Tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya (nullum crimen, noela poena sine lege praevid). Konsekuensi dari makna ini adalah tidak boleh berlaku surutnya ketentuan hukum pidana; 2) Tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis (nullum crimen, nullapeona sine lege scripta); 3) Tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas (nullum crimen, nullepoen sine lege certa); 4) Tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat (nullum crimen, noela poena sine lege stricta). Prinsip inti asas legalitas adalah bahwa undang-undang yang dibentuk oleh negara harus mengandung dan sesuai dengan prinsip pernyataan yang jelas. Dalam konteks hokum hak asasi manusia, jika pembentuk undang-undang hendak mengintervensi hak-hak dan kebebasan warga negara, undang-undang yang dibentuk harus berisi norma-norma hukum yang jelas dan tegas. Aturan-aturan hukum yang jelas berkorelasi dengan perlindungan terhadap hak-hak individu dengan cara yang meningkatkan kejelasan legislasi, pemerintahan demokratis dan mempromosikan nilai-nilai konstitusi dan nilai-nilai hukum terpenting lainnya Perspektif Hak Asasi Manusia Tentang Penangkapan dan Penahanan Pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendefinisikan penangkapan sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penangkapan. Pertama, pejabat yang diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan. KUHAP hanya memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penangkapan. Tapi untuk kepentingan penyelidikan, penyidik dapat memerintahkan penyelidik untuk melakukan penangkapan (Pasal 16 ayat (1) KUHAP). Jadi, kewenangan penyelidik untuk melakukan penangkapan hanya dalam tahap penyelidikan dan itu atas perintah penyidik. Jika tidak ada perintah oleh penyidik, penyelidik tidak berwenang melakukan penangkapan. Kedua, alasan penangkapan. Berdasarkan definisi penangkapan di atas, penangkapan diperbolehkan jika memang ‘terdapat cukup bukti’. Dengan mengacu kepada Pasal 17 KUHAP, frase ini dimaknai sebagai ‘seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup’. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup itu, sehingga dalam praktik hal itu diserahkan sepenuhnya kepada penyidik. Maka, perlu ada definisi yang tegas mengenai makna bukti permulaan yang cukup, misalnya penangkapan hanya boleh dilakukan oleh penyidik atau penyelidik atas perintah penyidik jika didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP Alasannya, selain meminimalisir penggunaan subjektifitas penyidik atau penyelidik dalam melakukan penangkapan, juga agar penangkapan yang dilakukan penyidik tetap memperhatikan dan menghormati hak asasi manusia tersangka/terdakwa. Ketiga, tata cara penangkapan. Penyidik atau penyelidik yang melakukan penangkapan memperlihatkan surat tugas, memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Jika tertangkap tangan, surat perintah penangkapan tidak diperlukan. Tapi, penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat (Pasal 18). Penangkapan tidak diadakan terhadap tersangka yang melakukan pelanggaran kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. Keempat, jangka waktu penangkapan.Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.Ini artinya, penyidik atau penyelidik dapat menangkap seseorang kurang dari 24 jam, tetapi tidak boleh lebih dari 24 jam. Penangkapan yang dilakukan lebih dari 24 jam harus dinyatakan batal demi hukum dan melanggar hak asasi manusia. Berbeda dengan penangkapan, penahanan berdasarkan Pasal 1 angka 21 KUHAP diartikan sebagai ‘penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini’. Pejabat yang diberikan kewenangan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim (Pasal 20 KUHAP).Alasan penahanan meliputi alasan subjektif dan alasan objektif. Yang termasuk ke dalam alasan subjektif adalah; 1) Tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup; 2) Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri; atau 3) Merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) KUHAP). Penangkapan dan penahanan di satu sisi merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang berdasarkan prinsip legalitas kepada penyidik, penyelidik atas perintah penyidik, penuntut umum maupun hakim, namun di sisi lain ia bersinggungan dengan perampasan kemerdekaan tersangka dan terdakwa. Adanya cukup bukti yang menjadi dasar penangkapan dan alasan-alasan subjektif maupun alasan objektif yang menjadi dasar dilakukannya penahanan rentan melanggar hak asasi manusia tersangka atau terdakwa.Oleh karena itu, aparat penegak hukum dituntut tidak hanya mengacu kepada prinsip legalitas sebagai dasar hukum penangkapan dan penahanan, tapi juga prinsip nesesitas dan prinsip proporsionalitas. 2. Prinsip legalitas mengindikasikan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang tersangka dan tidak melanggar hak asasi manusia dilakukan oleh pejabat yang diberi kewenangan untuk itu berdasarkan bukti permulaan yang cukup, jika penangkapan dan penahanan melanggar prinsip nesesitas, prinsip proporsionalitas secara otomatis juga terlanggar. Prinsip nesesitas mengacu kepada penggunaan kekuatan harus merupakan tindakan yang luar biasa, dalam arti jika masih ada alternatif lain selain menangkap dan menahan tersangka atau tersangka, maka alternatif tersebut wajib dilakukan. Surat Perintah Penangkapan tertanggal 24 Maret 2022 No.Sp.Kap/20/III/RES.1.24./2022/Satreskrim Tentang Perintah Penangkapan Bahwa berdasarkan surat laporan polisi Nomor : LP-B/52/XII/2021/RESKRIM/SPKT Polres Madiun tertanggal 16 Desember 2022 yang menerangkan bahwa “ dalam perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur korban bernama Karina Yossy Adinda yang diketahui terjadi pada hari senin tanggal 6 Desember 2021 sekira pukul 23.00 wib di dalam kamar mandi rumah bu sukesi alamat Rt.1 Rw1 Ds.Kec.Pilangkenceng Kab.Madiun, sebagaiamana dimaksud dalam pasal 82 UURI No. 17 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UURI No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UURI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Bahwa tindakan Termohon tidak cermat dan tidak teliti dalam Proses Penangkapan dan Penahanan sebagai berikut : a. Bahwa Proses Penangkapan kepada Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan No. SP. Kap/20/III/RES.1.24./2022/Satreskrim tertanggal 24 Maret 2022 yang di ketahui dan ditandatangani oleh Termohon II dan proses penangkapan terjadi setelah Pemohon memberikan keterangan di hadapan penyidik tertanggal 24 Maret 2022; Berdasarkan pada uraian diatas, maka tindakan Termohon yang tidak memenuhi Unsur Prosedur Penangkapan dan Penahanan, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. 3. Penyitaan Pada dasarnya salah satu tugas dan wewenang yang diberikan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kepada Polisi Republik Indonesia (POLRI) untuk melakukan penyitaan terhadap benda atau alat yang mempunyai keterkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan Tersangka. Kemudian oleh penyidik diserakan ke Jaksa untuk digunakan sebagai barang bukti dalam proses pembuktian di persidangan. Penyitaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur secara terpisah dalam beberapa bagian, sebagian besar diatur dalam Bab V bagian ke 4 (empat) Pasal 38 sampai dengan Pasal 48 KUHAP dan Pasal 128 sampai 130 KUHAP serta sebagian kecil diatur pula dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP. Dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP, menjelaskan definisinya yakni: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaan benda bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan”. Jika kita melihat definisi penyitaan yang terdapat dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP diatas maka tindakan penyidik dalam melakukan pengambil alihan maupun penyimpanan benda-benda milik seorang tersangka merupakan bagian dari upaya paksa. Tindakan penyidik tersebut dibenarkan oleh hukum sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam KUHAP benda sitaan dan barang rampasan adalah dua objek yang berbeda, namun dalam kebendaan yang sama. Benda sitaan adalah benda-benda yang disita untuk kepentingan pembuktian dipenyidikan, penuntutan, atau peradilan berdasarkan Pasal 39 KUHAP. Sedangkan barang rampasan adalah benda-benda yang oleh putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP.Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat penegak hukum dalam melakukan penyidikan terkait dengan penyitaan terhadap benda maupun alat yang diduga digunakan Tersangka pada saat melakukan tindak pidana. Maka kita bisa memahami lebih jelas kewenangan penyitaan dalam KUHAP dengan melihat prinsip-prinsip penyitaan dalam Pasal 38 sampai dengan 48 KUHAP, diantaranya sebagai berikut: a. Tindakan penyitaan oleh penyidik, hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri di daerah penyitaan itu akan dilakukan sebagaimana amanah Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Namun dalam Pasal 38 ayat (2) KUHAP memberikan pengecualian, di mana dijelaskan bahwa apabila dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyitaan terlebih dahulu tanpa harus meminta ijin dari Ketua Pengadilan Negeri. Hanya terkhusus untuk benda bergerak dan setelahnya wajib melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh persetujuannya. Kemudian Pasal 128 KUHAP, juga telah menjelaskan hal yang harus dilakukan penyidik pada saat ingin melakukan penyitaan yaitu terlebih dahulu menunjukan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita. Dan dalam Pasal 129 KUHAP, penyidik juga harus memperlihatkan benda yang akan disita atau kepada keluarganya dapat dimintai keterangan tentang benda yang akan disita, yang disaksikan oleh Kepala Desa atau ketua lingkungan yang dihadiri oleh dua orang saksi. Untuk selanjutnya penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang tua atau keluarganya. dan untuk benda sitaan sebelum dibungkus, dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita yang kemudian diberi cap jabatan atau ditandatangani oleh penyidik. terkait dengan benda sitaan yang tidak dimungkinkan untuk dibungkus, penyidik memberi catatan yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 130 KUHAP. Bahwa berdasarkan berita acara pemeriksaan Pemohon tertanggal 24 Maret 2022 yang menerangkan bahwa “ dugaan tindak pidana yang di duga dilakukan oleh Pemohon tidak menggunakan kendaraan roda 2 (dua) atau sepeda motor Pemohon yang bernopol AE 2748 HL Namun Termohon I tetap melakukan penyitaan terhadap benda bergerak milik Pemohon dan tanpa seijin surat perintah penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Kab. Madiun. Bahwa penyitaan yang dilakukan Termohon I tidak cermat,tidak teliti dan tidak sah di karenakan tidak memperhatikan kewenangan penyitaan dalam KUHAP dengan melihat prinsip-prinsip penyitaan dalam Pasal 38 sampai dengan 48 KUHAP serta pada kronologi kejadian baik dari locus dan tempus delicti. Berdasarkan pada uraian diatas, maka tindakan Termohon yang tentang penyitaan barang bukti, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum
a. Bahwa berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum” (vide pasal 1 ayat (3) UUD 45-perubahan ketiga- disahkan MPR 10-11-2001). Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 5. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM a. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan. Keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. c. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’ d. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas). e. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi : - ditetapkan oleh pejabat yang berwenang - dibuat sesuai prosedur; dan - substansi yang sesuai dengan objek Keputusan f. Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku. g. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut : “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah” h. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum. III. PETITUM Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut : 1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya; PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan. Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). |
||||||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |